JAKARTA – PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN tengah membongkar pasang dokumen lelang untuk konversi PLTD di 183 lokasi. Hal ini untuk mengakselerasi program dedieselisasi 2.000 hingga 3.000 MW perusahaan agar makin berjalan mulus.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan perusahaan dibuat pusing terkait konversi PLTD ke PLTS berbasis baterai ini. Alasannya karena perusahaan tidak memiliki expertise di pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) serta mayoritas baterai perusahaan yang sudah mencapai batas usianya.
Saat ini, baterai perusahaan dirating kapasitasnya tiap tahunnya, baik dari segi days of autonomy, maximum depth of discharge maupun battery temperature derating yang terus susut sehingga umur baterai umumnya habis di tahun kelima. Sementara konversi PLTD ke PLTS berbasis baterai memerlukan kapasitas baterai yang begitu besar untuk bisa beroperasi secara 24 jam penuh.
“Ini mau bikin dokumen lelang, sakit kepala pak. Baterainya yang dulunya berfungsi sekarang enggak karena ini dirating terus, 4% per tahun dan di tahun kelima sudah habis. Nah sekarang mau bikin 2-3 Gigawatt hour beroperasi 24 jam gede sekali,” kata Darmawan di sela acara Leader Talks Series : Economic Outlook & Everlasting Transformative Leadership, Senin, 13 Februari 2023.
Darmawan berencana memodifikasi dokumen lelang sedemikian rupa agar kian menarik. Apakah dengan skema run to fail (RTF), melibatkan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk memastikan efektivitas baterai hingga skema escrow account (rekening penampungan sementara yang yang akan dieksekusi saat masing-masing pihak telah memnuhi syarat dalam perjanjian) di mana akan ada procurement baterai di tahun kelima.
“Atau nanti seperti apa, kemudian bagaimana mengoptimalkannya?,” tambah Darmawan.
Sebelumnya pada Maret 2022 perusahaan telah membuka lelang awal konversi PLTD yang tersebar di 183 lokasi tersebut. Pada tahap awal tersebut, lelang dibagi menjadi 8 klaster di Jawa-Madura dan Kalimantan I dengan jumlah PLTD yang dikonversi sebesar 14-55 MW di setiap klaster.
PLN sendiri memiliki total 5.200 PLTD yang tersebar di 2.130 lokasi, yang rata-rata berada di daerah terpencil (isolated). Konsumsi BBM untuk PLTD mencapai 2,7 juta kl atau setara dengan Rp16 triliun per tahunnya.
Gelombang Tsunami
Menurut Darmawan, PLN saat ini perlu mengubah visi atau cara melihat masa depan dalam mengembangkan bisnisnya. Berbeda dengan era monopoli dimana dalam melayani pelanggannya didrive oleh aturan, saat ini dengan adanya rencana power wheeling (pemanfaatan bersama jaringan listrik) PLN harus bisa beralih menjadi mitra atau penyedia solusi bisnis.
“Mumpung ada waktu kita yang harus berubah. Ini inequitable. Tidak bisa lagi ibaratnya kita berdiri di pantai ada tsunami 40 meter tingginya keburu kita gak sempat lari. Dulu kita kalau deal dengan pelanggan itu kan dari aturan, aturan, aturan. Mana ada business deal, keluar permen ini 5 detik juga sudah hand shake,” kata Darmawan.
Era power wheeling dalam pengadaan pembangkit listrik berbasis EBT memungkinkan pelanggan memiliki alternatif lain selain PLN, dan terjadi matchmaking atau titik temuantara tambahan permintaan EBT dengan penyedia sumber daya EBT.
“PLN saat ini masih ada sesuai regulasi jualan listriknya. Dan makanya tekanan power wheeling menjadi tekanan yang luar biasa. Kita sudah diingatkan Pak Wamenkeu agar hati-hati, we might succeed di mana power wheeling tidak masuk tapi sampai kapan? Mumpung masih ada waktu kita harus mengubah paradigma dan visi bagaimana kita bisa jadi mitra bagi mereka yang ingin EBT dalam skala besar,” tambah Darmawan.
Menurut Darmawan, PLN tengah menyiapkan business preposition baru, di mana perusahaan akan melayani permintaan tambahan dari pelanggan yang juga ingin membangun di industri hulu sekaligus memiliki portofolio EBT.
“Kalau mereka datang ke kita minta power wheeling bagaimana? Ya kita propose saja bagaimana agar mereka jadi bagian dari upstream pembangunan renewable energi dengan catatan di sini ada Indonesia Power dan Nusantara Power kita co-invest, sharing risk. Toh permintaan ini ada karena ada pelanggan kita, upsidenya di kita,” kata Darmawan.
Dicontohkan, beberapa proyek terbaru sudah dijalankan dengan skema tersebut, seperti investasi bersama salah satu pengembang swasta di Kawasan Industri Batam untuk atap PLTS. Peluang-peluang serupa juga terus dijajaki, misalnya dengan roadshow ke Taiwan, Sembcorp Singapura dan sebagainya.
Dengan demikian, harapannya PLN benar-benar menjadi episentrum energi Indonesia di masa depan, yang kapasitasnya ditaksir mencapai 2.700 TWh pada 2060 mendatang. Dan dibutuhkan investasi yang tak tanggung-tanggung, sekitar US$1 miliar setiap pembangunan 1 GWh nya.
“We are at the crossroad. Secara kebijakan akan ada liberalisasi. Power wheeling hari ini masih bisa kita tunda mungkin, but not for so long. We must change the way we see the future,” kata Darmawan.
Andi Muksin Adiwijaya