Oleh : Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
Mungkin banyak yang menganggap, perang jaman modern itu punya gaya yang berbeda. Tidak lagi mengandalkan konsep perang terbuka dan konvensional sebagaimana dulu banyak terjadi. Kasus seperti Rusia vs Ukraina disinyalir hanya bersifat kasuistik. Lebih condong sebagai motif politik internasional, yang mengedepankan pola intervensi militer langsung ke sebuah negara. Tetapi, sebetulnya, apapun bentuk dan pola peperangannya, sasaran akhir adalah penguasaan sebuah wilayah. Hal ini mengindikasikan kemampuan sebuah negara untuk mengendalikan dan mengontrol negara lain.
Untuk bisa sampai ke tahap itu memang banyak proses yang dilakukan, mulai dari intervensi politik, sosial, budaya, ekonomi, dan juga militer secara langsung. Intervensi militer secara nyata biasanya adalah tahapan akhir. Meski demikian, berbagai proses itu sebenarnya saling berkaitan. Berbagai proses itu bisa dilakukan kapan saja dan dalam bentuk apa saja.
Akan tetapi, di luar semua itu, terdapat komponen penting yang akan berpengaruh besar, yaitu ketahanan komponen cadangan dan pendukung pada wilayah. Hal ini menunjuk pada realitas rakyat dengan segala dinamikanya.
Persoalannya, apakah TNI boleh dan bisa melakukan intervensi ke wilayah itu? UU TNI menegaskan operasi militer selain perang.
Secara historis, kultural, dan juga kebijakan, Indonesia sudah menasbihkan pertahanan wilayah dengan konsep pertahanan teritorial. Masing-masing wilayah di Indonesia dibagi atas teritori tersendiri, yang terwujud dalam bentuk komando teritorial seperti Kodam sampai ke Koramil. Landasannya adalah pemahaman bahwa wilayah Indonesia yang sangat luas dan cenderung terbuka, karena itu harus ada penjagaan dan penguatan wilayah sesuai karekateristiknya masing-masing.
Lantas dengan kondisi pertahanan secara teritorial, kondisi pertahanan apa yang mesti disiapkan? Apakah berbentuk penambahan alutsista, memodernkan teknologi pertempuran, menambah personil prajurit ataukah memperkuat SDM komponen utama? Tentu saja itu penting karena amanah UU TNI masih mengharuskan hal itu. Dan realitas itu memang berkemungkinan bisa terjadi. Untuk itulah, militer tetap harus melakukan berbagai upaya uprading kesiapan dan kelengkapan segala sesuatunya.
Dikaitkan pada Pemilu 2024 yang sebentar lagi akan kita jalani, memperkuat pertahanan wilayah dengan pendekatan teritorial menjadi mutlak. Ajang pemilu selalu saja menjadi arena yang penuh hiruk pikuk. Muatan politis sangat kental, dan sangat rentan sekali memicu konflik. Gerakan-gerakan politik para kontenstan dan manuver yang dilakukan seringkali sudah pada taraf saling menjatuhkan. Demi kekuasaan, segala cara ditempuh, sasarannya adalah pilihan publik. Demokrasi memang membolehkan cara-cara tertentu dilakukan.
Intrik politik terkadang sulit dipahami dan sulit dideteksi, apalagi komunitas masyarakat awam. Gempuran sosial media dan teknologi informasi akan mampu menciptakan polarisasi di masyarakat. Polarisasi yang sebetulnya normal akan berubah menjadi ancaman serius, saat sudah mewujud pada konflik terbuka, ataupun timbulnya sikap saling benci antar pendukung. Kalau antarmasyarakat sudah saling curiga, saling benci, saling hujat dan saling fitnah, maka publik yang lemahlah wujudnya.
Membereskan pada level politisi tentu sulit karena memang sudah garisnya mereka harus bertarung. Yang bisa dilakukan adalah memperkuat pada tataran akar rumput.
Masyarakat sebenarnya sudah punya pengalaman puluhan tahun terkait proses hiruk pikuk politik. Mereka sudah paham akan keramaian menjelang pemilu. Mereka bahkan terindikasi memiliki sikap “tidak peduli” pada pemilu.
Meski demikian, kita harus meminalisir suasana itu, yang mampu memancing emosi publik, dan bisa membahayakan jika tak dikendalikan.
Kenapa momentum Pemilu selalu krusial? Pertama, kuatnya nafsu kekuasaan sehingga segala cara bisa dihalalkan. Isu bisa dibangun, opini bisa dibentuk. Kedua, derasnya teknologi informasi dengan kekuatan media sosial, mampu menjadi ajang tarik-menarik kepentingan dan berkolaborasi dengan nafsu politik. Sebaran hoax, fitnah, caci maki, adu domba, begitu mudah ditebar. Ketiga, heterogenitas masyarakat Indonesia menjadi amunisi politik tersendiri. Isu SARA mudah dimainkan dan diotak atik. Keempat, kekuatan masyarakat sipil yang relatif lemah terutama dari sisi ekonomi dan sosial, membuat rakyat menjadi mudah berada di wilayah tebaran intrik politik. Rakyat menjadi bisa terperangkap dalam kondisi untuk sulit membedakan mana yang benar atau tidak. Mereka menjadi rapuh untuk digoda, dan berada dalam keadaan diombang ambing.
TNI tidak punya kapasitas untuk masuk wilayah politik.
Tetapi TNI punya kepentingan pada pertahanan negara dengan basis kekuatan rakyat. Yang harus dan selalu dijaga oleh TNI adalah jangan sampai rakyat lemah, jangan sampai rakyat mudah larut dalam berbagai intrik politik. Karena itu, pendekatan pertahanan utama sekarang adalah pertahanan teritorial, yang berbasis pada rakyat.
Khusus di Jawa Barat, antisipasi itu sudah dan selalu dilakukan. Kita melakukan program Ketahanan Pangan. Kita meneliti titik-titik lemah penguatan pangan di masyarakat. Kita mendatangi titik-titik itu dan melakukan berbagai program penguatan pangan.
Kita, misalnya, melakukan program penanaman pohon untuk mengatasi ancaman kekeringan dan banjir yang nyata-nyata terjadi di wilayah-wilayah tertentu. Kita menerapkan kegiatan rekayasa teknologi yang berorientasi pada penanggulangan masalah di masyarakat. Kita memberikan treatment solusi krisis energi.
Di beberapa tempat dilakukan program komunikasi sosial yang menempatkan TNI sebagai bagian masyarakat: Sebagai upaya kami untuk terus selalu membangun kedekatan.
Saya tekankan, silahkan anda bertarung pada wilayah politik, tapi jangan rusak ketahanan rakyat, khususnya Jawa Barat. TNI hadir disitu dan akan selalu hadir. Tak usah rayu rakyat dengan politik uang, karena itu melemahkan.
Tak usah rakyat diadu domba, atau TNI diutak atik, karena TNI punya “mata” untuk “membereskan” hal itu. TNI tak akan bertindak keras, tapi bisa bersikap tegas jika basisnya diganggu. Basis kami rakyat, karena itu rakyat jangan dilemahkan.
Oleh sebab itu, kita siap “perang” jika ada yang mengganggu basis teritorial. Ini bukan untuk TNI semata, tapi untuk negara kita bersama.
Sebaliknya, TNI juga punya komitmen, jika ada oknum anggota TNI yang “bermain-main”, musuh dalam selimut, kita siap bereskan hal itu.
Siliwangi milik bersama, Siliwangi adalah Rakyat Jawa Barat dan Banten, Rakyat Jawa Barqat dan Banten adalah Siliwangi. Siliwangi kita jaga bersama.
Redaksi