Ilaga, Papua – Di tengah rimbunnya hutan dan derasnya arus sungai kecil yang menyusuri Kampung Kimak, Distrik Ilaga, tampak sekelompok prajurit berseragam loreng hijau tengah berkeringat bukan untuk berperang, melainkan untuk membangun. Mereka adalah para Ksatria dari Kosatgas Yonif 700/Wira Yudha Cakti, yang tengah melaksanakan karya bakti memperbaiki bahu jalan yang rusak akibat aliran air dari sungai.

Jalan yang mereka benahi bukan sekadar jalur tanah berbatu. Jalan ini adalah urat nadi penghubung antara Kota Ilaga dengan Kampung Wuloni, Distrik Ilaga Utara. Setiap batu yang mereka tumpuk, setiap lumpur yang mereka angkat, adalah bukti cinta untuk negeri dan rakyat Papua.

Di bawah gerimis lembut dan kabut pegunungan, suara cangkul bersahutan dengan tawa anak-anak dan doa warga yang bersyukur. Seorang prajurit berdiri tegak di antara kerikil dan lumpur. Ia adalah Sertu Apolos Ledanaung, prajurit asal Papua yang turut ambil bagian dalam kegiatan itu. Wajahnya keras, namun matanya menyiratkan kasih.
“Bagi kami, ini bukan sekadar tugas. Ini pengabdian. Jalan ini adalah jantung masyarakat. Saat kami perbaiki, kami tahu kami sedang membantu nyawa agar bisa terus bergerak,” ujarnya dengan suara tegas namun hangat.
Prajurit lainnya bekerja tanpa lelah, tak peduli sepatu mereka tenggelam dalam lumpur atau tangan mereka memerah karena menggenggam alat kerja. Di sisi lain, warga turut membantu, menunjukkan bahwa sinergi antara TNI dan rakyat bukan sekadar slogan, tetapi nyata dan hidup di jantung Papua.
Dansatgas Yonif 700/Wira Yudha Cakti, Letkol Inf. Heraldo Tabasonda, S Hub. menyampaikan apresiasinya terhadap semangat para prajurit dan dukungan masyarakat.
“Kami hadir bukan hanya untuk menjaga keamanan, tapi juga untuk membangun, menyatukan, dan memberi harapan. Jalan ini menjadi saksi bahwa TNI dan rakyat selalu berjalan beriringan, di medan damai maupun medan tugas,” ungkapnya.
Karya bakti ini bukan hanya tentang pembangunan fisik, melainkan juga jembatan batin antara aparat dan masyarakat. Di Kimak, loreng tak lagi hanya lambang ketegasan, tapi juga pelindung dan sahabat rakyat.
Dan ketika arus sungai tak lagi menggerus jalan, tapi menjadi saksi bisu dari gotong royong dan ketulusan, maka di situlah Indonesia benar-benar hadir – lewat tangan-tangan yang bekerja dalam diam namun berdampak besar.