Oleh : Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
(Pangdam III Siliwangi)
Dalam sejarah kemiliteran, satuan infanteri dinyatakan sebagai satuan tertua sekaligus andalan utama dalam sebuah pertempuran. Karakteristiknya memang dibedakan pada wilayah masing-masing, seperti wilayah Timur Tengah yang banyak mengandalkan kekuatan Kavaleri (ciri khas mobilitas cepat dan awalnya menggunakan sarana kuda sebagai kendaraan), begitupun di wilayah Eropa.
Untuk Indonesia dan umumnya negara Asia, ujung tombak adalah Infanteri yang punya ciri sebagai pasukan pejalan kaki, dilengkapi senjata ringan, dan bisa bergerak lincah masuk ke semua sisi. Pertempuran kota ataupun hutan, umumnya mengandalkan Infanteri untuk bisa menundukkan sebuah wilayah. Dukungan satuan lain memang diperlukan, tetapi Infanteri akan jadi barometer apakah sebuah wilayah sudah dikuasai atau belum.
Ditilik sejarah, peristiwa heroik Palagan Ambarawa adalah titik awal peletakan HUT Infanteri atau sering disebut sebagai Hari Juang Kartika/Hari Juang TNI AD. Peristiwa ini juga menegaskan bahwa kekuatan Infanteri merupakan ikon dari TNI AD, walaupun di kesatuan lain (TNI AU dan TNI AL) juga memiliki unit dengan nama sama.
Untuk peperangan hutan ataupun peperangan gerilya, Infanteri harus bergerak di depan. Itulah sebabnya mengapa dalam konteks kasus konflik di Papua, Korps Infanteri harus jadi lini utama. Batalyon Infanteri menjadi kelompok yang harus masuk langsung ke jantung musuh. Wilayah perbatasan negara juga menjadi tempat penting penempatan korps satu ini. Mereka wajib menjaga marwah negara dengan motto “cari, dekati, hancurkan.”
Dikarenakan kekhasannya yang bergerak lincah dan mengandalkan pergerakan di darat, maka Infanteri dibekali dengan kemampuan individual yang mumpuni. Persenjataan ringan (agar memudahkan mobilitas), keahlian beladiri individu, kemampuan bertahan hidup (survival), termasuk kemampuan komunikasi sosial, menjadi sisi yang harus dikuasai setiap prajurit.
Tampak bahwa kemampuan utama Infanteri terbagi menjadi dua unsur utama, yaitu mampu bertempur menghadapi musuh secara nyata, dan kemudian mampu beradaptasi dan berkolaborasi dengan penduduk. Ini syarat wajib, karena Infanteri berada di masyarakat. Musuh hanya bisa ditundukkan jika Infanteri mendekat secara fisik, dengan itu Infanteri harus ada secara fisik pula.
Atas dasar itulah, tampak bahwa satuan Infanteri kemudian menjadi satuan utama di TNI AD, karena Angkatan Darat memang “hidup” ditengah masyarakat. Wilayah itu adalah ranahnya Infanteri.
Pada konteks kondisi Indonesia kekinian, dan sejalan dengan sistem pembinaan teritorial sebagai sebuah wilayah pertahanan, maka Infanteri juga bertransformasi. Konflik fisik ataupun konflik militer sudah sangat minim (kecuali di beberapa daerah seperti Papua), tetapi di tempat lain banyak persoalan yang dihadapi masyarakat. Infanteri mau tak mau harus turun tangan.
Kita menyebutnya modernisasi Infanteri dalam multidimensi operasi. Infanteri bukan semata-mata satuan tempur tapi juga satuan teritorial. Ia harus bisa masuk dalam semua jenis operasi, baik tempur ataupun bukan.
Begitulah, saat sekarang negara sedang dilanda berbagai persoalan bencana alam seperti banjir, gempa bumi, longsor, kebakaran hutan, maka Infanteri harus bergerak. Jika dalam pertempuran, andalannya adalah senjata organik, dalam situasi bencana yang diperlukan adalah komunikasi sosial dan kemampuan bergerak taktis mengatasi meminimalisir korban. Mereka bukan sukarelawan, tapi tugas utama sebagai prajurit.
Ketika Cianjur dilanda gempa, rumah hancur, tanah longsor, 300 orang lebih korban jiwa, maka di hari pertama kejadian, satuan Infanteri sudah bergerak. Posko kesehatan, tenda Pengungsian dan dapur lapangan hal pertama dilakukan. Selanjutnya sembako disiapkan dan disalurkan. Wilayah terisolir langsung dimonitor menggunakan drone, dimasuki dan diberikan solusi darurat. Air bersih disiapkan, trauma healing dan basic life support juga digerakkan.
Tak kurang 3.550 prajurit diturunkan yang terbagi atas berbagai spesialisasi keahlian. Fokus utama adalah tanggap darurat dan minimalisir korban. Disinilah peran besar Infanteri yang terbiasa bergerak taktis, mengomandoi berbagai kegiatan. Di saat semua masih sibuk dalam urusan koordinasi dan “terkaget-kaget” karena bencana begitu mendadak sekaligus masih galau karena goyangan tetap terasa, Infanteri harus terus bergerak.
Di setiap titik kumpul, dapur lapangan disiapkan, prajurit berseragam loreng sibuk masak memasak. Ini adalah tanggap darurat.
Pasca bencana, saat berbagai lembaga sudah masuk, Infanteri terus bekerja. Dapur sudah ditutup, hidup bergerak normal, namun di lokasi bencana masih ada persoalan. Pembersihan, pembenahan, pembangunan darurat harus dilakukan. Bencana di masa datang harus diantisipasi. Maka penanaman pohon, normalisasi wilayah menjadi prioritas.
Kasus Cianjur tentu hanya sebagian kecil dari contoh kasus persoalan non militer yang harus diselesaikan oleh Korps Infanteri. Tetapi semua punya satu kata kunci, yaitu keamanan dan kenyamanan masyarakat. Gempa memang tak bisa dicegah atau diprediksi, tapi kesiagaan saat tanggap darurat bisa meminimalisir korban. Itu hanya bisa dilakukan oleh satuan yang terbiasa, dan disitulah Infanteri harus berperan. Sekali lagi, prajurit bukan relawan, tapi punya tanggung jawab sebagai bagian dari pembinaan teritorialnya.
Hambatan bukan tidak ada, pasti. Pada situasi darurat, kepanikan bisa terjadi, bahkan tidak menutup kemungkinan ada yang “menangguk di air keruh”. Inilah yang harus dijaga dan selalu ditanamkan.
Kita melihat persoalan bencana di negara ini terjadi karena lemahnya manajemen bencana, belum maksimalnya edukasi ke masyarakat, belum siaganya lembaga pemerintah untuk menghadapi situasi mendesak dan tidak adanya sistem komunikasi bencana yang maksimal. Akibatnya, banyak pula yang “mencari muka” di saat penduduk kesusahan. Sangat disayangkan.
Kepada prajurit, selalu ditekankan, dekatilah bencana dengan kemanusiaan. Tak masalah masyarakat beragama apa, bersuku berbeda, pekerjaan beragam, yang dilihat adalah sisi kemanusiaan. Itulah esensi Komunikasi Sosial, wajib dipegang teguh. Kesampingkan perbedaan, selamatkan rakyat. Jika ada prajurit yang melenceng, sanksi sudah menunggu.
Oleh karena itu, pada momentum ulang tahun Infateri kali ini, transformasi semangat Infanteri diperkuat pada semangat Komunikasi Sosial dengan pendekatan kemanusiaan. Tema besar HUT kali ini adalah TNI AD di Hati Rakyat. Infanteri tak akan hilang di bumi, karena Infanteri ada di hati. Masalah boleh bertambah, konflik bisa berubah, tapi Infanteri tetap jaya. Selamat Hari Juang TNI AD 77 dan Selamat Hari Infanteri ke-74.
Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo