Oleh Pangdam III/Siliwangi Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
MESKIPUN perang Rusia Vs Ukraina masih terjadi serta konflik fisik di berbagai daerah lain, tetapi pada tataran publik dunia, pertikaian militer bukanlah sesuatu yang merisaukan. Publik sepertinya tidak terlalu peduli.
Data penting disampaikan oleh World Economic Forum (WEF) dalam laporan The Global Risk Report 2022. Survei besar ini mengambil kesimpulan bahwa 84 persen responden merasakan kecemasan terhadap kondisi dunia saat ini dan tentu saja masa datang. Hanya 16 persen yang bersikap optimistis.
Rasa cemas itu terfokus pada lima masalah krusial yang sudah dirasakan saat ini dan diprediksi akan semakin menjadi masalah serius pada masa datang.
Cuaca ekstrem, krisis mata pencaharian, kegagalan mitigasi iklim, konflik sosial, dan wabah penyakit adalah hal-hal yang membuat galau warga dunia (Ahdiat, 2022).
Kecemasan sejagat ini tentu bukan tanpa alasan. Realitas masalah yang ada sekarang sudah menunjukkan hal itu.
Jaka Widada, Guru Besar UGM mengatakan bahwa ancaman terbesar pada masa datang adalah kelaparan. Ini didasarkan prediksi pada 2050, jumlah penduduk akan meningkat berkali-kali lipat dari sekarang, sementara ketersediaan produksi pangan tidak berkembang signifikan (Satria, 2022).
Diklaim bahwa hanya tiga negara yang cukup siap menghadapi ancaman tersebut, yaitu China, Israel, dan Belanda. Keyakinan ini muncul karena adanya penggunaan teknologi terapan serta banyaknya inovasi sektor pangan yang sudah dibuat dan mampu berjalan.
Survei WEF di atas menegaskan juga bahwa kecemasan dunia bukan pada sisi pertikaian militer ataupun konflik fisik. Persoalan sehari-hari yang dihadapi warga, itulah yang merisaukan.
Pada konteks Indonesia, resesi global yang akan dialami seluruh negara, tentu saja akan berimbas kuat. Sistem pertahanan yang berazas tentara rakyat, menempatkan masalah-masalah di atas juga bagian dari masalah pertahanan. Masalah pada rakyat adalah masalah pertahanan.
Krisis energi, perubahan iklim yang kemudian membuat keterkaitan antar berbagai unsur adalah ancaman-ancaman yang berbahaya bagi ketahanan wilayah.
Semua ini sudah dimengerti dan dipahami oleh militer sehingga pertahanan negara ditetapkan berbasis pada pertahanan rakyat semesta (Subagyo, 2022).
Kesadaran tersebut juga sudah tertuang pada legalitas aturan, terutama pada UU TNI yang menyatakan kewajiban TNI untuk berperan serta dalam membantu unsur pemerintahan di daerah untuk mengatasi berbagai persoalan di masyarakat.
Termaktub ketegasan bahwa TNI tidak hanya mengurusi peperangan dengan mengedepankan fungsinya sebagai komponen utama pertahanan, tapi juga memberdayakan dan memperkuat komponen cadangan dan pendukung. Ini sudah menjadi doktrin yang harus dikerjakan maksimal.
Muara dari kebijakan tersebut, TNI mentasbihkan keharusan melakukan pembinaan teritorial (binter) pada masing-masing wilayah. Semua wilayah harus dipandang sebagai wilayah pertahanan dengan berbagai karakteristiknya.
Karena itu dengan jejaring TNI mulai dari Kodam sampai Babinsa, semua memiliki satu sudut pandang dalam melihat wilayah pertahanan.
Binter harus ditempatkan sebagai mekanisme utama guna mendukung dan menopang kekuatan pertahanan bernegara.
Satuan TNI yang dibedakan atas organik dan teritorial, hakekatnya semua memandang binter sebagai sisi terpenting. Tak ada TNI yang kuat tanpa teritorial yang kuat pula. Ia satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Pelaksanaan binter yang maksimal akan mampu mengatasi dan minimal bersiap diri dalam antisipasi ancaman non militer maupun hybrid.
Sisi ancaman militer mungkin tak terlalu kuat karena Indonesia, kendati memiliki daya tarik besar bagi negara lain, tapi relatif tidak memiliki musuh signifikan secara nyata (Subagyo, 2022).
Namun, invasi nonmiliter sudah berlangsung dan terus menggerogoti. Ini yang harus diwaspadai, ancaman tak terlihat, tapi sangat terasa melemahkan.