Binter adalah mekanisme yang bisa diandalkan. Pada pola ini ada unsur pembinaan wilayah, komunikasi sosial dan bakti TNI, yang langsung masuk dan menusuk ke semua komponen di wilayah.
Melaksanakan binter secara maksimal memang tidak mudah juga. Berbagai kendala baik internal maupun eksternal selalu ada.
Soal mind set yang masih memandang bahwa binter sebatas serapan anggaran atau asumsi bahwa urusan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah tupoksinya pemerintah (khususnya daerah) semata, kerap menghambat profesionalitas program.
Termasuk juga belum maksimalnya penganggaran untuk pelaksaan binter yang kemudian menjadi sebab satuan TNI harus membuat ragam kreatifitas agar kegiatan terus berjalan.
Di sisi lain, kesamaan persepsi semua pihak pada tataran ekternal belum menyatu. TNI masih sering dianggap sebagai unsur pembantu dalam berbagai kegiatan, sehingga banyak gagasan kadang sulit terimplementasikan maksimal.
Tumpang tindih kewenangan masih ditemui yang sebetulnya bisa diatasi dengan menyamakan persepsi.
Pada banyak kasus, TNI terbiasa dan ingin bergerak cepat dan taktis, namun terkendala aturan birokrasi yang mengharuskannya mengikuti prosedur yang rigid bahkan kadang berbelit-belit.
Titik tekan utama binter ada pada penguatan kapasitas masyarakat, sementara ini sering bermasalah pada banyaknya campur tangan kepentingan banyak pihak.
Apalagi sudah menjadi rahasia umum pula bahwa keberhasilan di suatu daerah seringkali dijadikan “batu loncatan” untuk pencitraan politik oleh oknum tertentu.
Pendekatan binter adalah pendekatan berbagi pengetahuan dan teknologi, bukan semangat “apa yang akan saya dapat”. Paradigma berpikir seperti ini masih banyak ditemukan di lapangan. Menyulitkan dan sering membuat geram.
Binter sebenarnya melingkupi semua aspek, karena pertahanan di tataran masyarakat juga komplek dan saling berkelindan.
Ilmu pengetahuan, politik, ekonomi, sosial, budaya, militer, keamanan, teknologi dan termasuk IT adalah bidangnya binter.

Posisinya bukan hanya pada wilayah pedesaan, wilayah konflik, ataupun wilayah bencana semata, tapi juga di daerah yang dianggap “aman” dan heterogen perkotaan.
Cakupan binter sangat luas, karena memang persoalan di masyarakat juga multikomplek. Ia beririsan dengan tugas dan kewenangan pemerintah daerah.
Pembedanya adalah sudut pandang dalam melihat. TNI berkacamata pertahanan, Pemda melihatnya dari sisi pembangunan. Koordinasi yang baik akan bisa menjembatani semua ini.
Atas dasar itulah, TNI khususnya di lingkup Kodam III Siliwangi, konsisten dan terus memaksimalkan pelaksanaan berbagai program binter.
Sesuai karakteristik Jawa Barat sebagai daerah terpadat dan strategis, daerah yang punya potensi SDM dan kreatifitas tinggi, sekaligus daerah yang rawan bencana serta rentan pada persoalan kebutuhan dasar masyarakat, maka Kodam III mendekatinya dengan mengedepankan prinsip Adaptif, Solutif, dan Inovatif.
Kita percaya tiga tagline ini menjadi jargon kuat dan harus terimplementasikan secara konkret.
Teknologi terapan menjadi andalan, karena itu Kodam III/Siliwangi mendorong dan terjun langsung dalam memaksimalkan potensi masyarakat. Mereka harus kuat dan percaya diri.
Adaptasi dengan keadaan, mencari solusi dari masalah yang ada dengan melakukan berbagai inovasi.
Oleh sebab itu, munculnya teknologi penjernih air, penghemat BBM, pembersihan sungai, pengolah limbah, pengolahan sampah, Bios 44, pembersih plastik, pemberdayaan UMKM, serta banyak inovasi lainnya adalah wujud nyata bahwa binter bukan semata-mata “menyelesaikan tugas”.
Pada konteks ini, kita ingin mendudukkan dan menempatkan posisi binter sebagai tupoksi utama TNI di masa sekarang dan masa datang.
Apa yang dilakukan TNI adalah memperkuat basis pertahanan terutama komponen cadangan dan pendukung. Semua itu adalah wujud menghadirkan secara nyata TNI di masyarakat.
Saat semua ini bisa dilakukan maksimal dan terasa oleh masyarakat, setidaknya kita mencoba menambah daftar negara yang siap dalam menghadapi ancaman global.
Dari 3 negara yang diyakini siap dengan segala inovasinya, maka harusnya Indonesia bisa menjadi negara ke 4 yang juga sudah mantap.
Kegalauan publik di masa datang, sebagaimana laporan WEF di awal, bisa diminimalisasi. Kita yakin dan optimis.
Redaksi